Kamis, 19 Desember 2013

Penemuan Gen Baru yang Memungkinkan Ikan Bisa ‘Menghilang’


Para peneliti yang dipimpin oleh Roger Cone, Ph.D. Vanderbilt, telah menemukan anggota baru dari keluarga gen yang memiliki pengaruh kuat pada pigmentasi dan pengaturan berat badan.
Gen ini merupakan anggota ketiga dari keluarga agouti. Dua gen agouti telah diidentifikasi sebelumnya terdapat pada manusia. Satu membantu menentukan warna kulit dan rambut, dan yang lain mungkin memainkan peran penting dalam obesitas dan diabetes.
Gen baru, yang disebut agrp2, telah ditemukan secara eksklusif di dalam tulang ikan, termasuk ikan zebra, trout dan salmon. Protein itu memungkinkan ikan mengubah warna secara dramatis untuk menyesuaikan lingkungan mereka, demikian laporan para peneliti minggu ini dalam edisi awal Prosiding National Academy of Sciences (PNAS).
“Ketika mahasiswa pascasarjana saya, Youngsup Song, menemukan sebuah protein agouti ketiga di kelenjar pineal ikan, organ yang mengatur ritme sehari-hari sebagai respon terhadap cahaya, pada awalnya kami pikir kami telah menemukan jalur yang mengatur rasa lapar harian,” kata Cone, ketua Departemen Fisiologi & Biofisika Molekuler dan direktur dari Institut Vanderbilt untuk Obesitas dan Metabolisme.
“Itu merupakan mekanisme yang membuat Anda lapar pada siang hari, tetapi tidak pada malam hari,” lanjutnya. “Namun, Chao Zhang, seorang mahasiswa pascasarjana yang menindaklanjuti penelitian, akhirnya menemukan bahwa protein agouti ini … terlibat dalam perubahan pigmen secara cepat yang memungkinkan ikan beradaptasi terhadap lingkungannya.”
Fenomena ini, yang disebut adaptasi latar belakang, juga telah diamati berada pada mamalia. Mantel dari kelinci Arktik, misalnya, berubah dari cokelat pada musim panas untuk menyamarkan diri dengan putih salju musim dingin.
Berbeda dengan mamalia yang harus menumbuhkan mantel baru untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan, ikan, amfibi dan reptil dapat mengubah warna kulitnya dalam hitungan menit.
Gen agouti pertama, yang menghasilkan pola bergaris “agouti” pada berbagai mamalia, ditemukan pada tahun 1993. Pada tahun yang sama, Cone beserta rekan-rekannya di Universitas Oregon Health Sciences di Portland melaporkan penemuan gen yang mengkodekan reseptor melanocortin-1, pemain kunci dalam kisah pigmentasi.
Mereka menunjukkan bahwa protein agouti mencegah reseptor melanocortin-1 pada melanosit (sel pigmen) di kulit dari pergantian pada produksi pigmen hitam-coklat, dan malah menggeser pigmen ke warna kuning-merah.
Gen agouti kedua mengkodekan protein kerabat agouti (AgRP), yang menghambat reseptor melanocortin di otak. Ini mencegah reseptor melanocortin-4 dari asupan makanan menghambat, dan dengan demikian merangsang rasa lapar.
Dalam makalah saat ini, kelompok Cone melaporkan bahwa protein yang baru ditemukan, AgRP2, mengatur ekspresi gen prohormon pmch dan pmchl, prekursor untuk hormon berkonsentrasi melanin, yang memiliki efek pencerahan pigmen.
“Secara bersamaan, protein agouti serbaguna dan reseptor melanocortin bertanggung jawab mengatur berat badan, pola berkelompok pada mantel mamalia, dan bahkan rambut merah pada kebanyakan orang,” kata Cone. Pekerjaan saat ini menunjukkan bahwa protein agouti juga terlibat dalam mekanisme kamuflase yang digunakan oleh ribuan spesies ikan.
Cone, yang datang ke Vanderbilt pada tahun 2008, telah menghabiskan sebagian besar karirnya mempelajari bagaimana reseptor melanocortin di otak mengatur berat badan. Dia beserta rekan-rekannya telah mempublikasikan lebih dari tiga lusin makalah yang mengelusidasi unsur-unsur dari sistem sinyal yang kompleks.
Zhang merupakan penulis pertama dari makalah PNAS, upaya kolaborasi para ilmuwan dari Institut Salk untuk Sains Biologi, Universitas California di Santa Cruz, Universitas Oregon, serta Vanderbilt.
Penelitian ini didukung oleh Institut Kesehatan Nasional dan Yayasan Bristol-Myers Squibb.
Sumber Artikel: mc.vanderbilt.edu

 



Ancaman Bahaya Teknologi Biologi Yang Dapat Hancurkan Peradaban Manusia

 Para peneliti Cambridge akan mempelajari apakah teknologi dapat menghancurkan peradaban manusia.

Pusat Studi Risiko Eksistensi (CSER) akan meneliti bahaya teknologi biologi, kehidupan artifisial, teknologi nano dan perubahan iklim.
Para ilmuan mengatakan menghiraukan kekhawatiran mengenai potensi pemberontakan robot adalah hal yang “berbahaya.”
Ketakutan bahwa mesin akan mengambil alih peradaban menjadi inti sejumlah film fiksi sains paling populer.
Mungkin yang paling terkenal adalah Skynet, sebuah sistem komputer yang ditampilkan dalam film-film Terminator.
Skynet berhasil mendapat kesadaran akan keberadaannya dan melakukan perlawanan setelah dikembangkan oleh militer AS.
Namun meski menjadi subyek dari sebuah fantasi, para peneliti mengatakan konsep bahwa mesin akan lebih cerdas dari manusia menuntut perhatian serius.
“Seriusnya risiko ini sulit untuk dinilai, tetapi didalamnya terdapat pemicu dari kekhawatiran ini, mengingat besarnya risiko,” kata para peneliti di situs resmi mereka.
Proyek CSER dibentuk oleh profesor filosofi Cambridge Huw Price, profesor kosmologi dan astrofisika Martin Rees dan pendiri Skype Jaan Tallinn.
“Hal ini tampak seperti prediksi yang beralasan bahwa pada suatu masa di abad ini atau abad yang akan datang kecerdasan akan meloloskan diri dari belenggu biologi,” kata Prof Price pada kantor berita AFP.
“Apa yang kita coba lakukan adalah mendorong hal ini kepada komunitas ilmu pengetahuan yang terhormat.”
Ia menambahkan bahwa jika robot dan komputer menjadi lebih cerdas dari manusia, kita akan diperbudak oleh “mesin yang tidak berbahaya, tetapi mesin yang kepentingannya tidak melibatkan kita.”
Jika umat manusia masih bertahan, maka pusat penelitian itu akan diluncurkan tahun depan.








Penemuan Spesies Flora dan Fauna Terbaru di Kalimantan

Kalimantan adalah salah satu pulau terluas di dunia. Nah, saking luasnya sehingga ilmuwan hingga kini masih sering menemukan ratusan spesies flora dan fauna baru setiap bulannya. Dari mulai yang biasa-biasa saja hingga yang unik semuanya ada.
Berikut ini adalah beberapa flora dan fauna unik Kalimantan yang ditemukan para ilmuwan beberapa bulan yang lalu.

1. Barbourula Kalimantanensis






















Diakui oleh para ilmuwan sebagai kodok tidak berparu-paru pertama di dunia. Hewan yang langka ini bernapas seluruhnya melalui kulit. Tanpa paru-paru memungkinkan hewan ini untuk memiliki bentuk yang lebih aerodinamik untuk membantunya bermanuver di sungai-sungai Kalimantan yang deras.

2. Dendrelaphis Kopsteini




















Disebut juga Kopstein’s bronzeback adalah ular yang bisa tumbuh hingga 1,5 meter. Hewan ini memiliki warna terang dengan campuran biru, hijau dan coklat. Walaupun tampak menarik, namun ular ini memiliki gigitan yang menyakitkan.

3. Dendrobium Lohokii






















Anggrek cantik ini dapat tumbuh setinggi 1 meter dan memiliki lebar bunga 2 - 3 cm.

4. Eirmotus Insignis




















Ikan sepanjang 1,5 inchi ini memiliki gerakan yang lambat dan lembut, merupakan salah satu jenis ikan dari 17 ikan baru yang ditemukan di kalimantan.

5. Eulichas villosa















Salah satu kumbang unik dari daratan Kalimantan, belum banyak diketahui tentang kumbang ini.


6. Ibycus Rachelae






















Siput ini adalah yang paling unik dari seluruh penemuan terbaru. Selain warnanya yang hijau kekuning-kuningan, siput ini juga memiliki ekor yang panjang. Saat masa perkawinannya hewan ini menembakkan sejenis “panah cinta” kepada pasangannya.

7. Macrobrachium Kelianense



















Udang spesies baru ini memiliki panjang 1 cm.

8. Rhacophorus Penanorum





















Kodok ini bisa melompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Bukan itu saja keunikannya, kodok ini pada pagi hari berubah warna menjadi coklat.

9. Thrixspermum Erythrolomum
































Adalah salah satu dari 37 anggrek unik baru yang ditemukan di Kalimantan.

10. Spectacled Flowerpecker























Burung abu-abu ini untuk sementara belum diberi nama ilmiah karena masih dalam tahap penelitian.

Tikus Unik Genus Baru Ditemukan di Indonesia

Liputan6.com, Cambridge : Ini adalah bukti betapa kaya keanekaragaman hayati nusantara: tikus jenis baru ditemukan di wilayah Indonesia. Ia punya keunikan, di antaranya memiliki bulu tajam dan ujung ekor berwarna putih.
Hewan pengerat yang disebut Spiny Boki Meko tersebut ditemukan di hutan di pegunungan Halmahera, Maluku yang terpencil. Di kepulauan di mana Alfred Russel Wallace menulis hasil penelitiannya kepada Charles Darwin -- menguraikan teori evolusinya.
Keberadaan tikus itu diketahui oleh tim gabungan dari tim Universitas Kopenhagen, Denmark dan Musem Zoologi Bogor.
Wilayah di mana tikus itu berada adalah lingkungan yang kaya keanekaragaman hayati. Namun, kelangsungan hidup satwa liar itu terancam akibat keserakahan manusia, diwakili maraknya penebangan kayu dan usaha pertambangan, yang makin marak dan menjajah lahan.
Para ilmuwan berharap, temuan mamalia baru tersebut bisa mendorong eksplorasi dan konservasi di area tersebut.
Laporan detil temuan tikus itu dilaporkan dalam Zoological Journal of the Linnean Society.
Kelapa Bakar dan Selai Kacang
Awalnya, tim ilmuwan menggunakan umpan kelapa bakar dan selai kacang yang ditaruh di batang pohon dan liang.
Jebakan itu menarik sejumlah binatang keluar dari sarang mereka. Di antaranya adalah seekor tikus yang tak pernah dijumpai sebelumnya, dengan bulu abu-abu kecoklatan yang kasar di punggungnya dan perut yang berwarna abu-abu keputihan -- Spiny Boki Meko.
Berdasarkan analisa DNA dan fisik tikus tersebut -- termasuk tengkorak dan gigi, para ilmuwan menyimpulkan, mereka tak sekadar menemukan spesies anyar, tapi genus atau jenis yang sama sekali baru!
Mereka memberi hewan itu nama resmi Halmaheramys bokimekot, yang diambil dari nama Boki Mekot, daerah pegunungan di dekatnya yang terancam akibat pertambangan dan penggundulan hutan. Spiny Boki Meko adalah nama 'populer'-nya.
"Temuan tikus baru ini makin menyoroti fakta keanekaragaman hayati di wilayah ini (Halmahera) dan pentingnya dilakukan konservasi," kata kepala peneliti, Pierre-Henri Fabre dari Pusat Makroekologi, Evolusi, dan Iklim di University of Copenhagen, seperti dimuat BBC News, 20 September 2013.
"Penting artinya bagi para ahli zoologi mengunjungi kepulauan tersebut untuk menjelajahi lebih lanjut."
Dia menambahkan, baru 6 tikus yang ditangkap: 3 jantan dewasa dan 3 betina dewasa.
Tak banyak yang diketahui soal perilakunya, namun ilmuwan menduga tikus itu adalah omnivora, berdasarkan temuan sisa tumbuhan dan serangga di perut mereka.
"Temuan ini menunjukkan, betapa banyak kekayaan alam yang belum kita temukan -- khususnya di wilayah Indonesia," kata penulis lain, Kristofer Helgen, dari Smithsonian Institution, Washington DC, AS.
Profesor Helgen kebetulan menjadi bagian dari tim yang baru-baru ini menemukan tikus raksasa yang tinggal di kawah gunung di Papua Nugini, juga mamalia karnivora baru di Kolombia yang disebut Olinguito.
"Ada kemungkinan ada banyak lagi spesies mamalia yang belum ditemukan di Indonesia, yang jauh lebih banyak dari negara-negara lain di dunia."
Sebelumnya, Agustus lalu, satu spesies tikus, yang nyaris tidak memiliki gigi ditemukan oleh para ilmuwan di hutan Sulawesi dan diberi nama Paucidentomys vermidax.
Tempat Lahir Teori Evolusi
Tikus genus baru Spiny Boki Meko juga menyediakan petunjuk baru tentang bagaimana mamalia berevolusia dan menyebar di seluruh "batu loncatan" Maluku -- yang diketahui luas dunia namun tidak kerap tak disadari rakyat Indonesia, sebagai tempat kelahiran teori akbar tentang evolusi -- atau setidaknya punya kontribusi yang luar biasa.
Di sanalah, pada tahun 1858, ahli ilmu alam Inggris, Sir Alfred Russel Wallace menulis surat pada Charles Darwin, menguraikan idenya tentang perkembangan spesies baru. Korespondensi keduanya menghasilkan teori seleksi alam (natural selection).
Kala itu, Wallace dikejutkan dengan keragaman yang luar biasa hewan dan serangga di Maluku - zona transisi antara Asia dan Australasia .
Dia juga mengamati batas yang jelas antara spesies di barat dan timur Indonesia, yang kemudian menuntunnya untuk menentukan batas zoologi - Garis Wallace.
Bukan mengada-ada mengaitkan temuan Spiny Boki Meko dengan Wallace. Tikus tersebut mendukung teori sang ilmuwan besar.
Kebanyakan fauna lain di kepulauan tempatnya ditemukan berkarakteristik Australasia, namun tikus H. bokimekot berbeda -- DNA-nya mengindikasikan bahwa ia datang ke Halmahera dari barat: dari Asia.
"Sangat menakjubkan, tikus berbulu runcing itu sekali lagi mengonfirmasi pemikiran Wallace," kata Dr Lionel Hautier, dari Museum of Zoology, University of Cambridge, Inggris.
"Hebatnya, temuan ini bertepatan dengan peringatan 100 tahun setelah kematian Wallace." (Ein)

 

 

Selasa, 17 Desember 2013

Tugas Aplikom tentang artikel dalam dunia biologi

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6uX9fFJoDFSv2ioF-ApDuD-U3by0ejXHQb-7Nq1Rj6X5TboYBGr3yYUFkXMU9Nu-vX5JJ0IYqDl92Kg-R12sRvH5v-Z_aMV-VUY-I4_lun-OEBVMYn-MMQJ728V45TTuwR3RNPMx7xI0/s400/redwoodant-apakabardunia.jpgWhat did you know???

Secanggih apapun peralatan siaga bencana, belum ada yang bisa mendeteksi terjadinya gempa bumi. Gempa baru diketahui ketika getarannya sudah terasa. Rupanya, kita masih kalah dengan semut merah. Hewan sekecil itu saja bisa mendeteksi gempa. Sebuah penelitian di Jerman yang dikepalai Gabriele Berberich dari University Duisburg-Essen, Jerman, menemukan perubahan perilaku semut ketika gempa bumi akan terjadi. Para peneliti tersebut mengamati perilaku semut merah hutan (red wood ant).
Gelagat bakal terjadinya gempa bisa diketahui dari "kegelisahan" para semut ini, terlihat dari dilanggarnya pola hidup diurnal (aktif di siang hari untuk mengumpulkan makanan dan beraktivitas, kemudian istirahat di malam hari). Namun, ketika gempa akan terjadi, koloni semut merah ini akan terus terjaga sepanjang malam di luar sarang mereka sekalipun situasi ini membuat mereka rentan diserang pemangsa. Saat gempa usai, perilaku normal akan kembali meskipun tak serta-merta. Dalam penelitian itu, perilaku semut merah terpantau normal sehari setelah gempa berlalu.

Rekaman tiga tahun
Gabriele Berberich dan tim penelitinya mengamati perilaku semut merah di habitat aslinya di hutan. Penelitian dilakukan selama tiga tahun pada 2009-2012. Selama periode penelitian, perilaku semut merah direkam dalam video, 24 jam sehari. Dalam rentang waktu penelitian, tercatat ada 10 kali gempa dengan kekuatan berkisar 2-3,2 skala Richter (SR). Dari peristiwa inilah, para peneliti menemukan perubahan perilaku setiap kali gempa bakal terjadi, yang itu pun hanya terjadi untuk gempa dengan kekuatan melebihi 2 SR. Gempa 2 SR juga merupakan kekuatan getaran terkecil yang bisa dirasakan manusia.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCoeI8IRPAe5l6D1RyqP30z7IwM7oaXMRHh-IPsAi9oy4h52zTkMLRuzD61MPXwHgzILd59wTVP1WvoXVRfuswEu9tDZoSNE_L55F9erWJ7yzz8Bi4Ud0bZ-dq8VHdKk2BSuUnlMfBQlM/s400/sarangredoodant.jpgTumpukan sarang semut merah (red wood ant) seperti ini banyak terdapat dalam hutan di negara-negara 4 musim / wildlifenorthamerica.com


Saat menjelaskan hasil kajiannya di pertemuan tahunan European Geosciences Union di Vienna, Austria, Berberich menjelaskan perubahan perilaku semut sebelum gempa bumi diduga ada kaitannya dengan reseptor yang mereka miliki. Perubahan perilaku ini juga dikaitkan dengan berubahnya emisi gas atau medan magnet bumi yang terjadi di habitat semut ketika gempa terjadi.

Berberich mengatakan, semut merah hutan memiliki dua reseptor. Keduanya ialah reseptor kimi (chemoreceptor) untuk mendeteksi kadar karbon dioksida dan reseptor magnet (magnetoreceptor) untuk "memantau" medan elektromagnet.
"(Namun) kami belum yakin mengapa atau bagaimana mereka bereaksi pada rangsangan atau stimulus yang muncul," ujar Berberich sebagaimana dikutip OurAmazingPlanet. Karena itu, dia dan tim penelitinya berencana memperdalam kajian ini di wilayah dengan aktivitas kegempaan lebih tinggi untuk melihat reaksi semut-semut merah terhadap gempa yang lebih besar.




 

Nama               : Diana NurAzizah
NIM                : 133244011
Prodi                : S-1 Biologi